Minggu, 01 Mei 2011

CERPEN


Menjual pisang goreng, menjual koran bekas, lalu menyewakan tikar buntuk penumpang kapal kelas ekonomi hingga menjadi calo tiket... sepertinta karir yang menjanjikan bagi anak-anak jalanan yang tinggal di sekitr pelabuhan. Para orang tua lebih senang menanyakan penghasilan anak mereka daripada memeriksa hasil-hasil ulangan di sekolah. Pendidkan yang baik adalah pendidikan yang bisa mengajarkan tentang bagaimana mencari uang untuk makan, bukan bagaimana menghafal teori-teori dan rumus-rumus matematika.
Berkelahi karena uang recehan sudah menjadi pemandangan lumrah bagi mereka. kekuatan otot jauh lebih penting daripada kecerdasan berpikir. Setiap persoalan diselesaikan hanya dengan satu cara, yakni perkelahian. Anak-anak yang kalah tidak boleh kembali kerumah sambil menangis sebab orang tua mereka akan marah dan memberi hukuman. Mereka malu bila anak-anak merekatidak mahir berkelahi.
Mereka didik dengan kekerasan. Mereka diajarkan untuk mendapatkan materi  dengan cara-cara yang tidak wajar. Anak-anak tidak perlu merasakan bermain-main layaknya anak-anak pada umumnya, sebab sejak lahir mereka memang sudah mendapatkan kenyataan yang sangat serius.
Satu-satunya jalan permainan yang bisa dilakukan adalah sepak bola. Tapi di sana tidak lebih dari adu kekuatan otot. Setiap anak yang bermain bola harus bersiap untuk cedera, bahkan tidak jarang lapangan sepak bola berubah menjadi arena tawuran. Mereka saling memukul, saling menendang, dan saling kejar mengejar. Mereka punya budaya, sistem, dan cara tersendiri dalam menyikapi hidup mereka.
Aku dilahirkan dan dibesarkan di sana. Tepatnya sebagai anak jalanan yang hidup di dekat pelabuhan. Aku adalah bagian dari kehidupan sosial di sana. Meski banyak hal yang buruk, tapi aku mendapatkan sesuatu yang sangat bermakna yakni keberanian, yang kemudian kusadari bahwa hal itu sangat penting untuk dimiliki. Banyak orang yang cerdas, juga banyak orang yang kuat, tapi mereka gagal gara-gara tidak punya keberanian.
Suatu hari aku pernah membuat keputusan penting dalam hidupku. Waktu itu, aku baru saja naik kelas 5 SD. Salah seorang teman sahabatku sedang menungguku di gerbang sekolah. Namanya Sandy, usianya kurang lebih dengan usiaku, tapi ia putus sekolah sejak kelas 5. Ia memakai tas yang terbuat dari karung terigu, sementara di dekatnya, ia meletakkan sebuah tempat yang berisi penuh pisang goreng.
Dua hari yang lalu kami memang telah membuat janji untuk bertemu saat aku pulang sekolah.....
“sudah lama? Maaf ya membuat kamu menunggu” kataku
“tidak juga, sebaiknya kita seegera pergi ke pelabuhan” kata Sandy sambil berdiri lalu mengajakku pergi.
Aku melepaskan seragam sekolahku lalu menyimpannya ke dalam tas. Hari itu aku ingin menemani Sandy untuk berjualan pisang goreng di pelabuhan. Aku juga punya niat untuk berjualan, tapi sebelumnya aku harus belajar. Terutama tentang “kode etik” berjualan di pelabuhan.
Hari itu aku mengenal seorang pria yang bernama Herman. Rambutnya panjang, dan di betisnya dipenuhi dengan tato.
“siapa orang itu?” tanyaku pada Sandy...
“Dia adalah Herman, bos ke 3 di pelabuhan ini!”
“Bos ke 3? Maksud kamu?” buru-buru aku kembali bertanya
“iya bos ke 3 di atas Herman, masih ada 2 orang bos, tapi mereka bertugas di kapal”.
Penjelasan Sandy semakin membuatku bingung. Tapi lama-kelamaan aku menjadi paham. Di pelabuhan ada sistem yang sangat kuat. Bila ada orang yang berani melawan maka balasannya adalah pukulan tinju yang membengkakkan.
Herman adalah orang yang memberi ijin kepada setiap anak yang ingin berjualan. Untuk mendapatkan ijin itu, mereka harus membayar beberapa rupiah sebagai uang keamanan.
“mengapa harus seperti itu....”
“karena Herman adalah orang yang paling kuat di sini.”
“terus...”
“bila ingin menjual tanpa harus membayar, harus mengalahkan Herman berkelahi....”
######
Hari-hari selanjutnya aku menjadi penjual pisang goreng. Aktivitas itu kulakukan setelah pulang sekolah. Ibuku rupanya sangat mendukung aktivitas itu. tiap hari ia membuat pisang goreng. Tak jarang ia memberiku saran-saran agar pisang gorengku laris terjual
“ingat, kamu harus tekun menyapa orang.....” demikian kata ibuku saat aku pamit sama beliau.
#####
Sebenarnya dalam silsilah keluargaku, ada dua agama yang sangat kental, meski ayah dan ibuku masing-masing beragama islam, tapi keluarga dari bapakku banyak yang bergama kristen. Mereka menjaga persaudaraan dan solidaritas. Karenanya, sejak kecil aku tak pernah menganggap kalau perbedaan agama merupakan sesuatu yang membahayakan.
Idealnya aku bisa banyak paham tentang agama. Di rumahku ada Al-qur’an dan di rumah keluarga aku sering menemukan kitab perjanjian barat. Tapi sejak kecil aku tak pernah tertarik untuk membahas agama.
“agama hanya untuk orang-orang yang sudah dewasa, hanya untuk orang-orang yang sudah mendekati ajal” aku pasti keliru.
Aku memang keliru karena selalu menganggap kalau agama hanyalah sekumpulan dogma yang mengajarkan tentang surga dan neraka atau tentang dosa-dosa serta haram-halal. Yang kutahu adalah, untuk dapat makan, seseorang harus mencari uang dan itu tidak ada hubungannya dengan iblis dan malaikat.
Tapi aku sedikit kurang beruntung, aku terlahir dalam kondisi lingkungan yang begitu keras. Sebuah kondisi yang menempatkan otot fisik dan nafsu lebih pada posisi yang lebih penting daripada akal dan nurani.
#####
Setelah 2 bulan menjajakan pisang goreng, aku menjadi sangat paham dengan kehidupan di pelabuhan. Ada banyak ketidak adilan. Aku mulai bosan membayar uang keamanan kepada Herman.
Teman-temanku pun sebenarnya merasakan apa yang aku rasakan. Tapi mereka hanya memilih untuk diam. Mereka pasrah dengan ulah para bandit-bandit itu.
“bagaiman kalau kita melawannya?”
“tidak.... herman adalah sosok yamg sangat kuat. Tak seorang pun yang berani melawannya.”
######
Dan akhirnya kuputuskan untuk menantang Herman berkelahi. Aku ingin memberi pelajaran penting kepadanya.
Satu hari sebelum perkelahian itu, aku bertemu dengan ayahku.
“besok aku ingin berkelahi melawan Herman”.
“apa kamu yakin bisa mengalahkankannya?”
Pertanyaan ayah sangat sulit untuk aku jawab. Sbenarnya akau rasa bisa mengalahkan Herman. Selain umurnya yang memang jauh dari aku, tubuhnya jauh lebih besar dari pada kuran tubuhku. Selain itu, tentu saja dia punya cukup banyak pengalaman tentang perkelahian.
Tapi aku sangat tahu, ayah pasti tak memberiku ijin jika aku tidak yakin bisa memastikan kalau aku bisa mengalahkan Herman.
“jangan coba-coba berkelahi sebelum kamu memastikan kau akan tampil sebagai pemenang”
“iya,,, aku yakin ayah”
“yakin atau terpaksa yakin?”
Rupanya ayah tahu kalau aku tidak cukuo yakin. Ayah bisa membaca sinar keraguan dari mataku.
“kalau yang kau takutkan adalah otot-otot fisik Herman, maka berhentilah untuk takut, yang menentukan dalam perkelahian adalah otot mental, dan kamu memiliki itu anakku” kata ayah sambil menepuk pundakku lalu meninggalkanku.....
“Jadi....?”
“ajak ia berkelahi, kamu bisa mengalahkannya.....” ucap ayah setengah berteriak.
Kata-kata ayah memberiku semangat yang jauh lebih hebat, mudah-mudahan ini pertanda kebaikan.
#####
Keesokan harinya.....
“jangan coba-coba pulang, jika hanya akan memberi kabar yang tidak menyenangkan”. Ucap ayah saat aku pamit.
Aku sangat paham dengan kata-kata itu. karenanya, aku melangkah dengan satu tekad “aku harus mengalahkan Herman”.
####
Dan ternyata memang benar, herman memang tak sekuat dari yang aku kira. Aku memukulnya hingga babak belur. Aku sama sekali tak memberi ampun....
#####
Sejak perkelahian itu, namaku menjadi populer di kalangan penjual pisang goreng. Banyak anak yang menjadi segan terhadapku, mereka memanggilku pak pendekar sejati, yang telah menumbangkan penjahat hebat. Ayahku pun sangat senang, dia seperti seorang pelatih tinju yang sukses.
####
Bapak dan ibu guruku di sekolah mulai kewalahan menghadapi sikapku yang banyak berubah semenjak menjadi penjual pisang goreng. Nilai kehadiranku berkurang derastis, berbanding terbalik dengan angka bolos yang semakin banyak. Di sisi lain, nilai tugas di kelas dan tugas rumah menjadi berantakan.
Ironisnya aku sama sekali tidak menganggap kalau semua hal itu merupakan pertanda keburukan. “untuk apa nilai rapor bagus jika tidak punya uang”.
Ibu guru Aminah pernah memberiku teguran yang sangat keras.
“kalau prestasi belajar kamu terus-terusan menurung, kamu akan tinggal kelas”
“maksud Ibu???”
“ya dengan terpaksa memilihnya kamu akan kembali mengulag di kelas 5”
Ibu Aminah adalah guru yang paling aku hargai. Alasan terbesarku menghargainya adalah karena dia punya wajah yang sangat cantik. Saat itu ia masih gadis.... dan aku masih SD kelas 5.... tentu masih banyak hal yang belum aku pahami tentang perempuan.
“jadi apa yang harus saya lakukan?”
“sebenarnya kamu anak yang pintar, kamu hanya perlu lebih rajin”.
Aku mengikuti nasehatnya bukan karena takut tinggal kelas, tapi karena aku sangat menghargai Bu’ Aminah. Tidak lama kemudian, aku pun naik kelas 6.
Kalau di sekolah aku naik kelas, di pelabuhan “karir”ku juga sedikit meningkat. Dari menjual pisang goreng ke penyewa tikar di atas kapal. Hal ini sangat luar biasa. Tidak banyak penjual pisang goreng yang lansung menjadi penyewa tikar. Biasanya mereka harus Jadi penjual koran bekas dulu.
Penumpang kelas ekonomi biasanya rela menyewa tikar dengan harga yang sangat mahal untuk ukuran anak jalanan sepertiku. Meski demikian mereka tetap melakukannya karena dinggap lebih hemat daripada harus menyewa kamar kapal.
Ibuku tak perlu bangun subuh lagi untuk menggoreng pisang, uang yang aku dapat pun jauh lebih besar. Setidaknya aku bisa membeli baju baru saat hari raya atau kebetulan jika ada keluarga  yang melaksanakan pesta. Dengan begini , aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri.
Tapi di sini tetap saja ada seseorang yang mengaharuskan kami membayar, lagi-lagi dengan alasan uang keamanan. Sebagaimana yang kulakukan dengan Herman, aku pun berani memberi pelajaran kepada orang itu dengan tinju dan tendangan yang sangat keras. Aku semakin dikenal sebagai sosok yang hebat.
Pekerjaan sebagai penyewa tikar kujalani cukup lama, bahkan hingga kelas 3 SMP. Dari waktu yang cukup lama itu, aku mulai terbiasa dengan hal-hal buruk, dari mengisap rokok, hingga mencoba meneguk minuman keras. Aku mulai sering tidak menginap di rumah. Seragam sekolah dan buku pelajaran tidak jauh dari pelangkap aktifitasku yang jauh dari ukuran positif.
#####
Masa itu telah jauh.... kini aku berdiri di sebuah jalan besar, mengenakan almamater sambil mengikat kepala dengan selembar kain tipis bertuliskan “STOP KORUPSI”. Kulihat teman-temanku, dengan almamater yang berbeda-beda mulai mundur dan perlahan membubarkan diri.
Matahari memang begitu terik, tubuh terasa semakin mengering, karena peluh tak henti keluar dari pori-pori kulit kami. Otot-otot kaki juga semakin melemah, sebab sedari tadi kami berjalan kaki. Tapi bukan itu yang membuat semangat kami menjadi redup dan surut...... tembok-tembok yang di bangun oleh tangan-tangan tak bernurani itu sangat kuat.
Sesekali aku berteriak dan mengistruksikan kepada teman kawan-kawan seperjuangan untuk terus maju-menembus blokade petugas, tapi mereka seperti tidak bergairah.....(KAKA-RED)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar