Minggu, 01 Mei 2011

makalah


 BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN SAHABAT DAN HADIST
Sebelum terlalu jauh membahas hadist, kami akan menyinggung sedikit tentang sahabat. Yaitu siapa yang disebut sahabat itu?
صحابې “sahabat” secara etimologis berasal dari kata صحبة “persahabatan”, “perkawanan”, “pertemanan”.
Pengertian sahabat menurut ulama hadist, yaitu setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah SAW. Bukhari dalam kitab shahihnya berkata: siapapun orang islam yang pernah bersahabat dengan Rasulullah SAW. atau melihat beliau, ia termasuk sahabat beliau.
Said ibnu Musayyab berkata sahabat menurut kami hanyalah orang yang pernah tinggal bersama dengan Nabi satu atau dua tahun, dan pernah ikut berperang bersama beliau sekali atau dua kali[1]. Adapun pendapat lainnya:
1.    Orang yang pernah bertemu dengan Nabi dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang islam[2].
2.    Orang yang lama menemani Nabi SAW. dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya[3].


Dari uraian diatas diketahui bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul dengan Nabi SAW. dan beragan islam. Kalau periode Rasul adalah periode ketika Rasul masih hidup yang lazim disebut dengan periode wahyu dan pembentukan tata aturan Islam, maka yang dimaksud dengan periode sahabat adalah periode sesudah Rasul wafat hingga tampilnya generasi tabi’in selaku murid para sahabat.
Sedangkan hadist adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
B.      HADIST PADA MASA SAHABAT
Sejarah perkambangan hadist pada masa sahabat adalah periode yang kedua setelah periode Rasulullah, khususnya Khulafaurrasyidin yang berlansung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.[4]
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadist belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.
Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadist. Mereka memegang hadist seperti halnya yang diterimanya dari Rasulullah secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati.
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatian dalam memelihara hadist. Menurut Al-Dzahbi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadist dengan hati-hati, diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa soerang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian harta warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam    Al-Qur’an maupun hadist. Al-Mugirah menyebutkan, bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mugirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadistnya diterima.
Umar bin Khattab misalnya, pernah berfikir untuk membukukan hadist. Ia meminta pendapat para sahabat, dan disarangkan untuk membukukannya. Tetapi, setelah beliau beristikharah sebulan lamanya, ia membatalkan rencana itu dengan katanya “ saya tadinya ingin menulis sunnah-sunnah, kemudian saya teringat kaum terdahulu yang menulis buku-buku, sibuk dengannya dan meninggalkan Kitab Allah,. Demi Allah saya tidak  akan mencampur adukkan Kitab Allah dengan apapun.”[5]
Hal yang dikhawatirkan oleh Umar dari penulisan Hadist adalah kaum muslimin terus-menerus mengkaji selain Al-Qur’an dan mengabaikan Kitab Allah. Oleh karena itu, Umar melarang para sahabat menyimpan tulisan lain bersama Kitab Allah. Ia sangat menentang orang yang menyalin tulisan Daniel, dan pasti memukul orang yang melakukannya. Kepada orang yang menulisnya ia mengatakan “pergilah dan hapuslah tulisan itu. Jangan membaca tulisan itu dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Jika saya mendengar informasi bahwa engkau membacanya atau membacakannya kepada orang lain, niscaya saya akan menghukum kamu”[6].
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam satu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian dan kekhususan mereka dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahawa para sahabat yang menerima hadist dari Rasulullah SAW. Sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist, di kalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafaz hadist itu sendiri dan kesahihannya.
C.     PERIWAYATAN HADIST DENGAN LAFAZ DAN MAKNA
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadist nabi tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu, hadist-hadist itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzi (redaksinya seperti yang disampaikan Rasulullah SAW.), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja)

1.      Periwayatan lafzi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwatan lafzi, adalah periwayatan hadist yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadist melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW. Bukan menurut redaksi mereka. Bahkan sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzinya bukan maknanya[7]. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadist dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebutkan Rasulullah SAW. Di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya berat dan sebaliknya. Dalam hal ini umar Umar ibn Khattab pernah berkata: ”barang siapa yang mendengar Rasulullah SAW. Kemudian ia meriwayatkan sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.”[8]
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadist dengan lafzi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadist yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah ia dengar dari Rasulullah SAW., seperti yang dilakukan terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadist tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaiman yang didengarnya dari Rasulullah SAW.


2.      Periwayatan maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW., boleh meriwayatkan hadist secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW., akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secarah utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukan dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadist ada istilah-istilah tertentu yang ia gunakan untuk menguatkan penukilannya, seperti kata: qala Rasul SAW. Hakadza (Rasulullah SAW. Bersabda begini)[9].
Periwayatan hadist dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadist-hadist yang redaksinya antara satu hadist dengan hadist yang lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadist-hadist tersebut.
Kerakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memelihara dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Qur’an ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun disatu sisi ada larangan dari Nabi SAW. Untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, mereka baru berani menulis hadist
D.    KOTA-KOTA PUSAT PENYEBARAN HADIST
Ketika Rasulullah SAW. wafat, wilayah kekuasaan Islam meliputi seluruh jazirah Arab. Ketika itu pimpinan pasukan perang yang hendak berangkat menuju Syam diserahkan kepada Usamah. Abu Bakar, sebagai pengganti Rasulullah SAW. tidak ada pilihan lain kecuali memberangkatkan Usamah.
Dalam waktu relatif singkat beberapa wilayah di bawah kekuasaan Islam. Arah Syam meliputi palestina, Yordania, Siria, dan Libanon. Irak dikuasai pada tahun 17 H, dan mesir pada tahun 20 H. Orang islam menyeberang sungai Efrat sesudah tadinya menaklukkan Persia pada tahun 21 H, dan sampai di Samarkand pada tahun 56 H. Kearah barat melalui jalur Afrika, orang Islam memasuki Andalusia (Spanyol) pada tahun 93 H. Perbatasan daratan Cina dijangkau orang Islam melalui jalur darat pada tahun 96 H.
Dengan perkembangan kekuasaan islam yang begitu luas, yang tidak pernah ada dinasti sepanjang sejarah manusia luasnya seperti itu, maka tidak dapat dielakkan bahwa para ulama harus disebarkan ke daerah-daerah yang wilayahnya amat luas itu. Alasannya, daerah yang dipegang orang Islam, terhadap penduduknya harus disediakan ulama untuk mempelajari ajaran Islam, tidak terkecuali ulama hadist. Maka benar bahwa dalam perkembangan selanjutnya terdapat kota-kota sebagai pusat pengajaran hadist.






1.      Madinah
Madinah dikenal juga dengan Dar al-Hijrah, sebuah tempat dimana Nabi Hijrah untuk selanjutnya menetap disana. Sebagai ibu kota kekuasaan Islam di masa Nabi dan Khulafaurrasyidin, maka kota ini menjadi pusat hadist. Diantara sahabat yang mempunyai nama besar di bidang hadist adalah Khalifah empat, Abu Hurairah, Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah ibn Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, Zaid ibn Tsabit “terkenal pemahamannya terhadap Al-qur’an karena ia sekretaris Al-Qur’an”, dan lain-lainnya.
2.      Makkah
Setelah menaklukkan kota Makkah, Rasulullah SAW. Menempatkan Mu’az Ibn Jabal adalah orang yang paling mengerti apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah. Ada sesama sahabat yang mengambil hadist dari  Mu’az, misalnya Abdullah ibn Abbas ketika kembali dari Bashrah menuju makkah.
3.      Kufah
Banyak sahabat yang datang ke Kufah, utamanya dimasa pemerintahan Umar ibn Al-Khattab, ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan Bashrah selanjutnya menadi pintu gerbang perluasan Islam ke Khurasan, Persia, dan India. Diantara sahabat Nabi yang pindah ke Kufah adalah Ali ibn Abu Thalib, Sa’id ibn Abu Waqash, Sa’id ibn Zaid Amr ibn Nufail, Abdullah ibn Mas’ud. Sahabat yang terakhir disebut ini telah mengharumkan nama Kufah sebagai kota Islam karena keberhasilannya menyelenggarakan peengajaran hadist dan fiqh.



4.      Bashrah
Sahabat Nabi yang tinggal di Bashrah antara lain Anas ibn Malik, Abu Musa Al-Asy’Ari, Abdullah ibn Abbas, Uthbah ibn Ghazwan, Imran ibn Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qal ibn Yassar, Abdurrahman ibn Samurah, dan lain-lain.
5.      Mesir
Sahabat yang meriwayatkan hadist di Mesir antara lain Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash, Uqbah ibn Amir al-Juhanni, Kharijah ibn Hadzafah, Abdullah ibn Saad ibn Abi Sarah, Abdullah ibn al-Harist ibn Juz, Abu Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.


[1] [1] M. Ajjaj al-Khathib, hadits nabi sebelum dibukukan,Gema Insani Press, Jakarta, 1999
Hal.419-420
[2] Mustafa amin, Ibrahim al-Tazi, muhadarat fi ulum al-Hadist, Ja-mi’ah al-Azhar, 1997, hal.131.
[3] Ibid.
[4] Munzier suparta, ilmu hadis, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 79
[5] Muh. Zuhri, hadist nabi telaah historis dan metodelogis, Tiara Wacana, Yogya, 2003, hal.51
[6] M. Ajjaj al-Khathib, hadits nabi sebelum dibukukan,Gema Insani Press, Jakarta, 1999
hal. 352
[7] ibid., hal. 163
[8] Munzier suparta, ilmu hadis, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.83
[9] M. Ajjaj al-Khathib,op.cit. hal. 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar